Cassy, Jenjaemme
6 min readDec 13, 2023

Gila. Aku telah menjadi gila senja ini. Aku eratkan pelukanku, membiarkan tubuh yang bergetar ini mendekap anak yang sudah aku besarkan hingga sekarang dan mungkin akan mati bersamanya setelah ini.

Telah ku pejamkan kedua mataku seraya merasakan angin yang terus menerpa seluruh tubuh. Angin yang biasanya aku sukai, kini berubah seperti menusuk-nusuk.

Tuhan, sakit sekali rasanya.

Kini kepalaku kosong. Otakku seakan berhenti berfungsi, aku tidak bisa berpikir jernih. Apa aku akan mati hari ini?

Teriakan Chakra dibelakang sana terus memenuhi pendengaranku dengan berisik. Namun aku enggan untuk tersadar, aku terlanjur gila. Perlahan aku rasakan setiap perihnya ketika ingatan masa lalu tiba-tiba terlintas dalam pikiranku.

Aku bantu dia, aku anggap dia sebagai keluarga terdekat. Aku peluk dia disaat hari terpuruknya. Aku rangkul setiap detiknya agar tidak ada rasa kesepian yang menghampirinya. Manusia yang sudah aku anggap sebagai kakak terbaik ternyata sudah menjebakku selama ini.

Dia hancurkan kehidupanku. Hidup yang aku syukuri sekarang harus ku benci teramat dalam.

Dan juga … anak yang ada di dalam dekapanku ini. Tidak seharusnya dia merasakan sakit. Rakabuming, anak keduaku tidak sepantasnya terciprat kesedihanku.

Ku usap rambutnya perlahan, batinku terus meminta maaf. Maafkan ayah, nak … ayah sudah menyakiti perasaan kakak.

Tubuhku terasa semakin sesak. Pelukan anakku semakin erat. Ingin sekali aku melepasnya, mendorongnya kembali ke tempat aman. Namun tanganku sudah terlanjur terkunci.

Akankah aku mati bersamanya hari ini?

“Ayah.” panggilnya. Kubuka mataku perlahan,lalu menatap anak yang sangat aku sayangi penuh tanya. Matanya teduh sekali, sama seperti dulu. “Kakak minta maaf.” katanya.

Aku terdiam, mulutku mati.

“Kakak terlalu egois, kakak cuma mikirin rasa sakit kakak sendiri padahal ayah lebih sakit dari kakak.” Kulihat air mata kembali keluar dari sudut matanya. “Ayah … pasti sakit ya menanggung semuanya sendiri?”

Bak tertusuk ribuan pisau, hatiku terasa begitu ngilu mendengarnya. Benar, ini semua sangat sakit.

Kehidupanku sejak awal begitu menyakitkan. Memang benar, awalnya aku membenci perjodohan itu. Aku tidak mencintai Arum, tapi aku tetap memperlakukannya sebagai seorang istri. Perlahan aku mulai menerima, aku sadar telah mencintai Arum. Aku mencintainya hingga akhir hayatnya.

Aku tidak tau apa-apa. Aku tidak mengenal Arum sebelumnya. Kalau dari awal aku tau kebenaran bahwa Arum merupakan wanita yang Chakra cintai, aku pasti akan menolak. Jadi, apa ini semua salahku?

Hari itu, aku dipertemukan kembali dengan Aleta. Wanita yang dulu aku cintai. Aku tidak merasakan apapun sampai akhirnya Chakra terus mengajakku untuk bertemu. Berkali-kali aku tolak, namun Chakra terus menjebakku tanpa henti.

Bodohnya aku tidak menyadari semua rencana busuk yang telah Chakra susun untuk menghancurkan hidupku.

Apa salahku, Tuhan? Aku hanya hidup mengikuti takdir dari-Mu. Tapi kenapa anak-anakku harus ikut terseret?

Kala itu, aku terus bertemu dengan Aleta. Dia terlihat antusias ketika aku ceritakan tentang Sasmaka, Rakabuming, dan Jenggala. Dia datang disaat aku senang dan susah. Aku mulai dibutakan dengan perhatian manisnya yang terus menanyakan tentang anak-anak.

Hingga akhirnya aku berpikir, mungkin ini ujungnya. Aku mau ketiga anakku merasakan kasih sayang seorang ibu lagi. Aku berpikir sudah cukup aku merepotkan anak-anakku. Aku ingin mereka bisa terbebas dari pekerjaan rumah. Sudah cukup mereka menyiapkan keperluanku. Aku mau mengambil kembali beban yang sudah aku titipkan di dalam kehidupan mereka.

Aku hanya ingin anak-anakku bisa merasakan sebagaimana rasanya menjadi seorang anak tanpa perlu memikirkan kerasnya rumah tangga. Tapi ternyata niatku salah. Aku berakhir menyakiti anak-anakku sendiri.

Ayah minta maaf, nak. Beribu-ribu maaf ayah berikan untuk kalian.

Aku hanya seorang ayah yang tidak punya banyak kelebihan. Semua usaha telah aku lakukan demi membahagiakan anak-anakku. Berbagai cara aku gunakan agar ketiga anakku tidak kekurangan kasih sayang. Tapi nyatanya, aku tetap gagal.

Aku tau, tingkah laku ketiga anakku yang kekanakan sebenarnya merupakan teriakan alam bawah sadar mereka. Masa yang tidak sempat mereka rasakan dengan puas karena harus menanggung beban rumah.

Sasmaka, anak sulungku. Dialah anak yang paling berat bahunya. Rakabuming, anak keduaku. Dialah anak yang menggantikan sosok ibu di rumah. Sedangkan Jenggala, anak bungsuku. Dialah korban dari runtuhnya keluargaku setelah Arum pergi.

Selama bersama Aleta, di kepalaku hanya terpikirkan anak-anak. Aku hanya ingin yang terbaik untuk mereka, sungguh. Hidupku penuh dengan memikirkan anak-anakku, aku tidak peduli dengan diriku sendiri. Aku hanya ingin ketiga anakku bahagia.

Aku terlalu sibuk dengan itu hingga aku tidak menyadari kalau mereka sudah bahagia walau hanya hidup denganku, ayahnya.

“Ayah.” panggilannya menyadarkanku kembali. “Ayo kita mati,”

Mati, semua telah mati. Akal sehatku dan Raka sedang berada diambang kematian. Tolong, tolong, tolong! Alam bawah sadarku sudah terlalu lelah berteriak berkali-kali.

Tuhan, akankah langit senja menjadi saksi kematianku dan anakku hari ini?

“tapi, Tuhan pasti marah.” lanjutnya. Aku masih terdiam hingga akhirnya sayup-sayup aku mendengar dua teriakan dari belakang sana.

“AYAH, RAKA JANGAN!” Itulah yang aku dengar.

“Ayah, ayo kita mati kalau sudah dipanggil Tuhan.” katanya. Aku masih menatap anakku. “Tuhan marah kalau kita pulang sendiri. Kalau kita mati sekarang, kita gak bisa ketemu bunda.”

“Kita pulang ya? Ayah gak sendirian, yah. Kakak masih di sini sama ayah. Ayah bisa berbagi semua rasa sakit ayah ke kakak. Kakak mau kita mati sesuai takdir Tuhan.”

“Ayah sayang kan sama kakak?” Aku pun mengangguk. Perlahan kesadaranku mulai kembali penuh, aku beralih menatap langit. Kini senja sudah berganti menjadi malam. Bulan mulai memancarkan sinarnya.

“Ayah, ayo kita akhiri rasa sakit ini. Ayo kita hidup lebih lama, demi bertemu bunda.”

“Nak …” akhirnya aku bisa bersuara lagi. Aku kembali memeluk anakku. “Maafkan ayah, maaf, tolong maafkan ayah.”

“Kakak udah memaafkan ayah dari lama. Ayah yang mengajarkan kakak untuk memaafkan, walaupun rasanya gak adil tapi kakak tau dendam gak akan menyelesaikan apapun. Kakak gak mau kayak om Chakra, kakak gak mau jadi manusia jahat.”

“Ayah, tolong jangan putus asa. Kakak cuma punya ayah, kakak gak mau kehilangan ayah terlalu cepat.”

Sekarang aku menatap ke belakang. Di sana, kedua anakku terus berteriak memanggilku untuk turun. Sedangkan Chakra, manusia itu hanya diam menatap kedua anakku dengan penuh kebencian.

“Ayah, masih mau ketemu bunda sekarang?”

Brak!

Tepat satu detik setelahnya, ku jatuhkan tubuhku ke belakang. Derap langkah yang tergesa-gesa terdengar mendekat, tubuhku langsung didekap kuat oleh ketiga anakku. Mereka menangis meraung-raung. Tubuh ketiganya bergetar hebat.

Benar, aku masih punya anak-anakku.

Perlahan aku ikut menangis. Aku merasa gagal, rasanya tidak pantas aku disebut sebagai seorang ayah. Aku peluk anak-anakku, ku ucapkan ribuan maaf lagi.

“Ayah, maaf abang egois. Maaf abang lupa sama ayah. Maaf abang lupa kalau ayah juga manusia, ayah juga punya perasaan. Ayah, maafin abang. Maaf abang udah durhaka sama ayah, abang terlalu buta karena satu kesalahan ayah. Ayah, abang minta maaf … tolong ampuni abang.” ucap anak sulungku saat itu.

Aku pun menggeleng kuat. “Ayah yang seharusnya minta maaf sama abang, nak. Ayah sudah membebani abang sejak kecil. Tidak seharusnya ayah membagikan beban hidup ayah ke anak-anak ayah. Maafkan ayah, nak. Maaf ayah belum bisa menjadi orang tua yang baik untuk kalian. Maaf ayah belum bisa memberikan kasih sayang yang cukup untuk kalian, maaf ayah tidak bisa menggantikan posisi bunda dengan baik. Ayah minta maaf, nak.”

Aku lepas pelukanku, ku genggam tangan ketiga anakku. “Berikan ke ayah … ayah ambil kembali beban yang ayah titip ke kalian.” kataku.

Kulihat mereka semakin menangis, ketiganya menggeleng dengan kompak. “AYAH GAK KASIH BEBAN APA-APA! KITA IKHLAS BANTU AYAH, KITA GAK TERBEBANI SAMA SEKALI.” teriak anak bungsuku.

Tapi entah kenapa, otomatis aku menatap kakinya. Ya Tuhan, ingin sekali aku menggantikan posisi Jenggala. Hidupnya masih terlalu panjang untuk kehilangan satu kaki. Aku kembali terisak, aku tidak bisa menyembunyikan lagi kesedihanku di depan anak-anak.

Tiba-tiba wajahku ditangkup oleh anak bungsuku. “Bukan salah ayah. Je cacat karena takdir, Tuhan udah mencatat itu sebelum Jeje lahir jadi ini semua bukan salah ayah. Je ikhlas ayah, Jeje udah ikhlas.” ucapnya dengan tenang. Dia tau kalau aku menangisi kondisinya.

“Tolong jangan menyerah, ayah. Jangan pergi, Jeje mohon. Jeje masih butuh bimbingan ayah untuk melanjutkan hidup.”

Benar, tidak ada lagi alasan untuk meninggalkan anak-anakku. Mereka masih membutuhkanku, aku harus tetap bertahan.

Saat itu, aku menatap Chakra di belakang sana. Aku beranjak bangun lalu menghampiri Chakra. Tanpa pikir panjang, aku berlutut di depannya.

“Tolong jangan sakitin anak-anak gue, Chak. Jangan lampiasin dendam lo ke mereka. Mereka cuma anak-anak, Tuhan menitipkan mereka ke gue. Gue gak mau mereka terluka. Ini masalah kita berdua, jangan seret anak-anak gue ke dalamnya. Sakitin gue, Chak. Gue ikhlas tapi gue mohon jangan usik anak-anak gue lagi.” pintaku.

Malam itu, Chakra tidak mengatakan apapun. Dia pergi begitu saja meninggalkanku bersama ketiga anakku di atap rumah sakit.

Semoga Tuhan membalas perbuatan lo, Chak.

Ku jatuhkan tubuhku ke lantai.

Aku teramat lelah. Mungkin ketiga anakku bisa ikhlas, mereka bisa memaafkanku karena aku orang tuanya. Tapi aku … aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri.

Selamanya, sampai aku mati untuk yang kedua kalinya. Karena hari ini adalah kematianku yang pertama. Aku mati, jiwaku telah habis digerogoti rasa bersalah.

Maafkan ayah, nak. Ayah minta maaf.

No responses yet