Angin berhembus begitu kencang, awan mendung perlahan menyelimuti langit sore ini, suara gemuruh bahkan mulai terdengar. Sepertinya hujan akan turun namun Rakabuming tidak peduli. Sejak tadi siang, ia sibuk berpindah-pindah tempat. Dari tempat satu ke tempat yang lainnya hanya untuk memecahkan rasa penasarannya.
Kini, ia sudah sampai di tempat tujuan terakhir. Tempat yang sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Kakinya terus melangkah, rumput ilalang mulai menggelitik, bodoh, seharusnya ia pakai celana panjang tadi.
Langkahnya begitu mantap tanpa ada rasa takut, entah kenapa hatinya yakin kalau yang ia cari ada disini. Setelah melewati beberapa pilar pemisah, langkahnya pun berhenti.
“Gue tau lo bohong.” gumam Rakabuming.
Disana, di depan sana, Sasmaka sedang duduk diam persis disamping makam bunda. Tidak ada tikar ataupun alas yang Sasmaka gunakan. Terdapat beberapa bungkus makanan juga, sepertinya Sasmaka sudah disini sejak siang.
Sasmaka terlihat menunduk. Bahunya mulai bergetar, mulutnya terlihat sedang berbicara sesuatu. Akhirnya, Rakabuming memutuskan untuk mendekati Sasmaka dengan pelan.
Kini, Raka bisa mendengar semua ucapan Sasmaka.
“Bunda … bunda boleh marah sama abang, bun.” ucap Sasmaka dengan pelan. “Hukum abang, bun … biar rasa bersalah ini bisa berakhir.”
Rasa bersalah? Apa? Rakabuming tidak mengerti apa maksud Sasmaka. Setau Raka, Sasmaka sedang tidak ada masalah apapun.
“Abang gak bisa, bun … abang nyesel.” Sasmaka memukuli kepalanya sendiri. Sasmaka tidak mengerti kenapa rasa penyesalan ini malah semakin besar setiap harinya.
Tiba-tiba ponsel Sasmaka berbunyi tanpa henti. Rakabuming hafal kalau itu bunyi notifikasi pesan. Tangis Sasmaka semakin menjadi-jadi setelah melihat notifikasi tersebut, ia bahkan menaruh ponselnya dengan kasar.
Rakabuming sudah tidak bisa diam lagi.
“Abang sebenernya lo kenapa?” tanya Raka saat menghampiri Sasmaka dengan raut khawatir.
Sasmaka terkejut mengetahui adiknya tiba-tiba ada disini. “Ngapain disini?” tanyanya namun Rakabuming tidak menjawab apapun. Ia mengambil ponsel milik Sasmaka lalu melihat banyak sekali notifikasi pesan dari Jenggala.
“Jeje? Lo ada masalah sama Jeje, bang?”
Sasmaka menghapus air matanya lalu merampas kembali ponsel miliknya itu. “Sana pulang. Jangan tinggalin Jeje sendirian di rumah.”
“Kenapa sih?! Jangan di pendem sendirian bang, berkali-kali gue bilang kalo ada masalah atau mau curhat lo bisa cerita ke gue. Apa gunanya gue disini kalo lo lakuin semuanya sendirian?!” Rakabuming sudah tidak bisa menahan emosinya lagi.
Sejak kemarin, Raka memang sudah merasa aneh dengan Sasmaka. Tingkah abangnya benar-benar berubah 360°, terlihat jelas kalau Sasmaka menyembunyikan sesuatu. Awalnya Rakabuming masa bodo tapi sekarang sudah tidak bisa lagi. Ia harus meluruskan semua ini agar suasana di rumah bisa kembali seperti semula.
“Ngomong bang, jangan diem aja. Hukum apaan? Lo minta bunda ngehukum lo buat apa? Lo buat kesalahan apa?” tanya Rakabuming bertubi-tubi.
Sasmaka memberikan ponselnya pada Raka, “Baca semua chat dari Jeje.” ucapnya. Raka pun menurut, ia baca dari awal sampai akhir tapi tidak menemukan jawaban apapun. “Gak ada apa-apa, bang.”
“Baca chat yang jeje kirim, Rak. Bedain dari yang sebelum gue berangkat ke Amerika.”
Hening.
Rintik hujan mulai turun membasahi rambut kedua anak itu, tetapi Raka dan Sasmaka tetap berdiam diri disana.
“Bang.”
“Gue nyesel, Rak. Gue pengen putar ulang waktu biar Jeje gak kayak gini.”
Benar.
Semua pesan yang Jenggala kirim hanya berisikan pertanyaan yang sama berulang-ulang, “Abang dimana? Sama siapa? Abang pulang kan? Abang jangan pulang malem-malem ya? Abang udah sampe? Abang dimana? Abang dimana? Abang dimana?” tanpa henti.
Jenggala seperti diselimuti ketakutan setiap hari.
Kini, Rakabuming pun ikut tersadar. Ia teringat kalau belakangan ini Jenggala memang menjadi lebih clingy dari biasanya. Raka selalu memergoki Jenggala sedang mengecek keberadaannya secara diam-diam.
Pertama, saat itu Raka sedang di halaman belakang menyiram tanaman kesayangan ayah. Tapi tiba-tiba ia melihat Jenggala sedang mengintip dari balik gorden.
Kedua, ia hendak membuang sampah ke depan. Saat Raka membuka pintu tiba-tiba terdengar suara berlari dari lantai atas. “Mau kemana?!” tanya Jenggala dengan panik namun Raka hanya menunjukkan sekantung sampah sebagai jawabannya.
Ketiga, saat Raka pergi ke warung. Siapa sangka? Lagi dan lagi, ia melihat Jenggala mengawasinya dari pagar rumah.
Kalau diingat, kejadian itu terus berulang-ulang dalam sehari bisa lebih dari 5 kali. Sekarang Rakabuming juga sama menyesalnya dengan Sasmaka. Kedua anak itu membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Mereka termenung di depan makam bunda, hatinya terus merutuki diri sendiri.
Sasmaka sudah berusaha untuk bersikap seperti biasa di depan Jenggala dan ayah tapi semua sia-sia. Setiap kali melihat wajah Jenggala, perasaan bersalahnya malah semakin besar hampir tidak tertampung lagi.
Sepertinya rasa penyesalan ini akan terus menghantui Rakabuming dan Sasmaka, entah sampai kapan.
Cassy, Jenjaemme 2023